Rabu, 12 Maret 2014

Dialog Rakyat untuk Bangsa, Presiden SBY Lahirkan Fondasi Ketahanan Pangan

Jakarta - Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Herman Khaeron menegaskan,  Presiden (yang juga Ketua Umum Partai Demokrat ) Susilo Bambang Yudhoyono  berhasil melahirkan fondasi baru tentang pentingnya ketahanan pangan bagi  rakyat Indonesia.  Fondasi itu bahkan dibangun SBY sebelum genap setahun memimpin Republik Indonesia, tepatnya saat mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) pada 11 Juni 2005, di Kawasan Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Herman Khaeron, yang juga Ketua Departemen Pertanian DPP-PD, menegaskan hal itu dalam diskusi rakyat “Demokrasi Kita: Dialog Rakyat untuk Bangsa” yang mengangkat topik “Membangun Ketahanan Pangan Melalui Penguatan Produk Pertanian Lokal”di Sekretariat   DPP-PD lantai 1,  Graha Kramat 7, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat,  Kamis, 6 Maret 2014. Diskusi, yang digelar hampir setiap hari usai makan siang tersebut, kali ini menampilkan tiga pembicara yakni  Herman Khaeron, Prof Dr Muslim Salam (Guru Besar Universitas Hasanudin) dan  Winarto Tohir (Ketua umum Kontak Tani Nelayan Andalan).

Revitalisasi pertanian memiliki tiga pilar pengertian. Pertama, pengertian revitalisasi pertanian sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian –dalam arti vitalnya pertanian- bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indoesia; kedua, revitalisasi pertanian sebagai bentuk rumusan harapan masa depan akan kondisi pertanian; serta ketiga, pengertian revitalisasi sebagai kebijakan dan strategi besar melakukan “proses revitalisasi” itu sendiri.

Pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan secara nyata menunjukkan perhatian Pemerintahan SBY pada para petani. Revitalisasi pertanian menjadi tonggak bahwa Indonesia sangat serius membangun sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan tanpa mengabaikan sektor lainnya.
Terkait revitalisasi pertanian itu, antara lain, lahir  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Intinya UU ini menjaga agar lahan pangan tidak terkikis habis untuk pembangunan.

Pada 2010 lahir UU Holtikultura (budidaya tanaman perkebunan) yang intinya  mengatur agar sektor holtikultura menambah pendapatan masyarakat. Pengaturan itu meliputi  pembenihan, pembibitan, kultur jaringan, produksi tanaman, hama dan penyakit, panen, pengemasan dan distribusi dengan metode budidaya pertanian modern. Pemerintah  juga terus melakukan perbaikan infrastruktur holtikultura.

Revitalisasi pertanian  berlanjut dengan lahirnya  UU Pangan tahun  2012. Undang-Undang ini lahir karena Pemerintahan SBY dan Partai Demokrat memahami bahwa  negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Herman juga menegaskan kinerja Pemerintahan  SBY dalam menjaga ketahanan pangan antara lain dengan berusaha  menumbuhkembangkan pangan lokal. Persoalan ini memang  hal besar karena merupakan dampak “nasi sebagai makanan pokok”di seluruh Indonesia yang dilakukan di masa orde baru.  Kebijakan orde baru itu membuat masyarakat Indonesia yang tadinya mengonsumsi pangan lokal seperti ubi, singkong, sagu, atau jagung beralih mengonsumsi beras. Bahkan muncul dampak  psikis ketika di masyarakat  muncul anggapan bahwa pemakan nasi menunjukkan strata sosial lebih tinggi dibandingkan konsumen non-nasi.  Akibatnya, pangan lokal  ditinggalkan  masyarakat yang akhirnya berdampak parah pada ketahanan pangan nasional. Indonesia  menjadi negara pengimpor beras.

Kini, Pemerintahan SBY berusaha keras menyadarkan agar masyarakat kembali mengonsumsi pangan lokal. Hal itu juga dilakukan dengan kembali membudidayakan pangan lokal di seluruh Nusantara.
Pada 2013 lahirlah UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintahan SBY dan Partai Demokrat berharap UU ini mampu membuat profesi petani sebagai profesi yang bermartabat bukan sekadar sejahtera. Jika petani menjadi profesi yang bermartabat maka para petani tidak akan tertarik beralih profesi hingga ketahanan pangan terjaga,
UU ini mengatur kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memfasilitasi dan mendorong petani menjadi peserta asuransi pertanian hingga dapat memberikan perlindungan bagi petani dari kerugian gagal panen akibat bencana alam, serangan organisme, dampak perubahan iklim dan jenis resiko lainnya. Baru di masa SBY ada yang namanya asuransi pertanian.

Winarno Tohir mengatakan, Indonesia adalah negara dengan hasil perkebunan terbesar di dunia. Hasil perkebunan sawit kita sesungguhnya yang terbanyak tetapi karena banyak negara luar  menanam investasinya di RI maka RI tercatat sebagai penghasil sawit kedua. Komoditas lainnya juga termasuk terbesar di dunia, misalnya  lada, kopra, kakao, atau minyak nilam.

Cara lain  meningkatkan  kesejahteraan petani, Winarno menyarankan  agar sektor pertanian mengekspor barang jadi bukan bahan mentah. Saat ini sekitar 70 persen hasil pertanian yang diekspor adalah bahan mentah.  Padahal hasil olahan sawit, misalnya, bisa jadi sabun atau  oli.

Padi saja  ikutannya sangat banyak.  Winarno menyatakan, petani  kita sesungguhnya belum panen padi tetapi baru memotong padi. Banyak petani belum memanfaatkan  jerami yang  bisa ditekan (press) sehingga jadi bahan pakan ternak polar (jerami atau rumput dibentuk dalam bentuk balok). Sekam (bagian dari bulir padi-padian yang kering, bersisik, dan tidak dapat dimakan) jika dibakar bisa jadi tenaga listrik. Abu pembakarannya Jadi karbon
Muslim Salam dalam paparannya menegaskan, ketahanaan pangan adalah kewajiban negara. Tanpa ketahanan pangan, stabilitas negara terancam. Strategi yang dipakai untuk ketahanan pangan bisa saja berproduksi atau impor.

Terkait ketahanan pangan, Pemerintahan SBY berusaha keras agar pangan lokal kembali digalakkan. Apalagi tanaman pangan lokal  biasaanya berkembang di sebuah daerah sesuai geografis daerah itu.

Ia juga mengingatkan agar sebelum  memproduksi pangan lokal harus dilihat dulu banyak atau tidak konsumennya. Produksi harus disesuaikan dengan permintaan pasar, sehingga tidak terjadi kelebihan produksi yang pada akhirnya menjatuhkan para petani.
Bangsa Indomsia juga perlu makin memperdalam kemampuan teknologi bidang pertanian karena  seluruh negara maju di dunia mengandalkan teknologi untuk meningkatkan produksi, termasuk teknologi pascapanen. Pengembangan pertanian pun harus melibatkan lembaga penelitian atau perguruan tinggi sehingga produksinya berkualitas andal.

Acara “Demokrasi Kita, Dialog Rakyat untuk Bangsa”  mendapat sambutan hangat para kader, dan diliput puluhan  jurnalis. Hadir dalam dialog itu, para pengurus harian DPP-PD, para Anggota FPD-DPR-RI, Pimpinan Direktorat Eksekutif DPP-PD, serta kader dan simpatisan Partai Demokrat. (www.demokrat.or.id/TeamPD/Gs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar