Jakarta - Atas dasar pertimbangan,
bahwa pada konflik sosial, perempuan dan anak cenderung lebih rentan terhadap
bentuk-bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, serta belum optimalnya
perlindungan dan pemberdayaan untuk perempuan dan anak dalam konflik tersebut,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 7 Maret 2014 lalu, telah
menandatangani Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial.
“Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik
bertujuan untuk melindungi, menghormati, dan menjamin hak asasi perempuan dan
anak dalam penanganan konflik,” bunyi Pasal 2 Perpres tersebut.
Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik
itu dilaksanakan oleh: a. Kementerian/lembaga terkait sesuai dengan
kewenangannya; dan b. Pemerintah daerah dengan melakukan upaya pencegahan untuk
menghindari perempuan dan anak dari dampak situasi dan peristiwa konflik.
Upaya pencegahan itu dilakukan di antaranya dengan: a.
Meningkatkan peran unit pelayanan perempuan dan anak untuk memberikan
perlindungan perempuan dan anak dalam konflik; b. Mengadakan pelatihan dalam
pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam konflik; dan c.
Memfasilitasi penambahan penyediaan ruang publik/ruang terbuka hijau kota untuk
perempuan dan anak.
Termasuk dalam upaya pencegahan itu adalah upaya penyelamatan
dan perlindungan terhadap: a. Perempuan dan anak agar tidak mengalami
kekerasan, dan b. Pembela hak asasi perempuan.
Adapun pelayanan khusus terhadap anak dalam konflik meliputi: a.
Pengasuhan; b. Sarana bermain anak yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan;
dan c. Rekreasi.
Melalui Perpres ini, Presiden SBY menegaskan,
kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
memberdayakan perempuan dan anak dalam konflik sosial.
Pemberdayaan perempuan itu meliputi: a. Meningkatkan ketahanan
hidup; b. Meningkatkan usaha ekonomi; dan c. Meningkatkan partisipasi perempuan
sebagai pembangun, penengah dan perunding perdamaian.
“Meningkatkan ketahanan hidup sebagaimana dimaksud dilakukan
dengan memberikan bimbingan dan pendampingan untuk penguatan mental spiritual,”
bunyi Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 ini.
Adapun pemberdayaan anak dalam konflik dimaksud meliputi upaya
untuk meningkatkan pemahaman terhadap anak untuk tidak melakukan kekerasan
dengan melaksanakan pendidikan damai dan keadilan gender.
Tim Koordinasi
Guna mengefektifkan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan
anak dalam konflik, melalui Perpres No. 18/2014 itu, juga disusun rencana aksi
nasional perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana aksi nasional sebagaimana dimaksud akan
diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Perpres ini juga menegaskan, untuk melaksanakan perlindungan dan
pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik di tingkat pusat dibentuk Tim
Koordinasi Pusat, dengan susunan sebagai berikut:
Ketua: Menko Kesejahteraan Rakyat;
Wakil Ketua: Menko Polhukam;
Ketua Harian/Anggota: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak;
Anggota: 1. Mendagri; 2. Menteri Pertahanan; 3. Menteri Agama;
4. Menteri Hukum dan HAM; 5. Mendikbud; 6. Menteri Kesehatan; 7. Menteri
Sosial; 8. Menakertrans; 9. Menteri Perdagangan; 10. Menkominfo; 11. Menkop
UKM; 12. Menteri Perumahan Rakyat; 13. Menteri PDT; 14. Menteri Pekerjaan Umum;
15. Kapolri; 16. Jaksa Agung; dan 17. Panglima TNI.
Tugas Tim Koordinasi Pusat adalah: a. Melakukan koordinasi
pelaksanaan program perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam
konflik; b. Melakukan advokasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan; dan c.
Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden.
“Tim Koordinasi Pusat melaksanakan rapat koordinasi pelaksanaan
program kegiatan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam
penanganan konflik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan,” bunyi
Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 itu.
Dalam pelaksanaan tugas, Tim Koordinasi Pusat dibantu oleh
kelompok kerja perlindungan dan pemberdayaan anak dalam konflik. Kelompok kerja
ini merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah, organisasi kemasyarakatan,
profesi, LSM, dan peneliti/akademisi.
Adapun di tingkat provinsi, gubernur bisa membentuk kelompok
kerja perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak, yang bertugas melakukan
koordinasi pelaksanaan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam
konflik di tingkat provinsi.
Kelompok kerja di tingkat provinsi itu terdiri atas unsur dinas
terkait, instansi vertikal, penegak hukum, organisasi masyarakat, LSM,
peneliti/akademisi, dan para tokoh agama, adat, masyarakat, dan penggiat
perdamaian provinsi.
“Pendanaan yang diperlukan dalam pelaksanaan perlindungan dan
pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik di masing-masing
kementerian/lembaga, dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara
masing-masing kementerian/lembaga,” bunyi Pasal 28 Ayat (1) Perpres ini.
Adapun pendanaan yang diperlukan dalam pelaksanaan perlindungan
dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik di tingkat provinsi,
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, sementara di
tingkat kabupaten/kota dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,”
bunyi Pasal 29 Perpres yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir
Syamsudin pada 11 Maret 2014 itu. (TeamPD/Gs)